SANDIKALA ENSEMBLE
“Epitaph”
Epitaph is a composition by Dion Nataraja, developed in collaboration with Sandikala Ensemble.
Epitaph is a continuation of an investigation into a compositional method in which the tempo progressively decelerates. This method is inspired by the concept of rhythm in Javanese gamelan, where as the tempo of a gending slows down, the spacing between the balungan (core melody) tones widens, while instruments like the gendèr, gambang, and peking become increasingly dense: there is a paradoxical sense of time.
In Javanese gamelan, this process is often likened to the image of a blossoming flower: a gending begins like a closed bud, and as the rhythmic level rises, as the ornamental density increases, the flower blooms. However, I am not interested in a blooming flower—I am interested in a flower that withers and rots. This is why, in my works including Epitaph, the tempo continuously slows down.
The rotten flower is a symbol of critique. I have no desire to align myself with the glorification of tradition—to hell with the sublime. Rather than glorification, this work pays attention to the wounds of history that risk being forgotten. In the middle section of the piece, there is an electronic sound intervention resembling a broken radio: it is a collage of the voices of Wiji Thukul, Mahmoud Darwish (the Palestinian poet), and Frantz Fanon (the anti-colonial thinker and revolutionary from Martinique). Wiji Thukul sings his poem Apa Guna, Mahmoud Darwish reads a poem about his longing for the land of Palestine, and Frantz Fanon speaks on anti-racism and national liberation. But these voices appear unclearly, like traumatic memories arriving beyond our will.
These fragments are sandwiched between quotations from the traditional gending Lalermengeng, a piece often associated with death. Its presence, too, resembles trauma: a history that returns without control. The reference to Lalermengeng also reframes the three voices mentioned earlier; the broken-radio-like sound is also reminiscent of a swarm of flies, hovering around a rotting memory of the past.
At the end of the piece, there is an intervention in the form of noise. This moment is the only one in the work that uses noise, creating a stark contrast. Poetically, noise plays the role of a Ratu Adil—a messianic figure who halts the unstoppable flow of history toward apocalypse. In an irrational world, the hope for redemption is the only rational thing. But redemption can never clearly articulate itself—thus noise arrives. Noise is the future that refuses clear articulation.
Epitaph adalah karya komponis Dion Nataraja yang dikembangkan bersama Sandikala Ensemble.
Epitaph adalah karya kelanjutan dari investigasi mengenai metode komposisi di mana tempo karya terus-menerus melambat. Metode ini terinspirasi dari konsep irama di gamelan Jawa, di mana ketika tempo gending melambat, jarak antara nada balungan semakin melambat, instrumen-instrumen seperti gendèr, gambang, dan peking justru semakin padat: ada konsep waktu yang paradoksal.
Di gamelan Jawa, proses ini sering dikaitkan dengan gambar bunga yang berkembang: gending dimulai dengan kembang yang tertutup, dan seiring naiknya tingkat irama, seiring kepadatan ornamen meningkat, kembang ini menjadi mekar. Namun, saya tidak tertarik dengan kembang mekar: saya tertarik dengan kembang yang layu dan busuk. Ini sebabnya dalam karya-karya saya, termasuk Epitaph, tempo secara terus-menerus melambat.
Kembang busuk adalah simbol kritik. Saya tidak memiliki keinginan untuk terhubung dengan pengagungan tradisi—persetan dengan yang adiluhung. Daripada pengagungan, karya ini menaruh perhatian pada luka-luka sejarah yang terancam dilupakan. Di bagian tengah karya, ada intervensi bunyi elektronik yang terdengar seperti radio rusak: ini adalah tumpukan dari suara Wiji Thukul, Mahmoud Darwish (penyair Palestina), dan Frantz Fanon (pemikir dan pejuang anti kolonial dari Martinique). Wiji Thukul menyanyikan puisinya “Apa Guna,” Mahmoud Darwish membaca puisinya yang berkenaan dengan rasa rindunya pada tanah Palestina, dan Frantz Fanon berbicara tentang anti-rasisme dan pembebasan nasional. Tapi suara-suara ini hadir tanpa kejelasan, seperti memori traumatik yang kedatangannya berada di luar kehendak kita.
Fragmen suara ini hadir dihimpit kutipan gending tradisional, yakni Lalermengeng. Ini gending yang kerap dihubungkan dengan kematian. Kehadiran gending ini juga mirip dengan trauma: sejarah yang tiba tanpa ada kontrol. Referensi Lalermengeng juga memberi asosiasi baru terhadap fragment tiga orang yang saya sebutkan, suara yang terdengar seperti radio rusak juga mirip dengan kerumunan lalat, mengitari memori masa lalu yang busuk.
Pada akhir karya, ada intervensi dalam bentuk noise. Momen ini adalah satu-satunya momen di karya yang menggunakan elemen noise, membentuk kontras yang kuat. Dari sisi puitis, noise berperan seperti Ratu Adil yang menghentikan laju sejarah yang terus-menerus mengarah pada kiamat. Di dunia yang irasional, harapan akan penebusan adalah satu-satunya hal yang rasional. Tapi penebusan tidak pernah bisa mengungkapkan dirinya secara jelas: maka noise hadir. Noise adalah masa depan yang menolak artikulasi jelas.
About the Ensemble
Sandikala Ensemble is a Yogyakarta-based group dedicated to exploring experimental techniques and designing new gamelan instruments in order to expand the horizons of contemporary gamelan music. Founded in 2020 by Dion Nataraja and Yustiawan Paradigma Umar, the ensemble features musicians Roni Driyastoto, Mustika Garis Sejati, Suseno Setyo Wibowo, Muhamad Erdifadillah, and Muhammad Khoirur Roziqin. The ensemble has developed new instruments, including four genders with a 36-tone non-octave tuning system. More recently, Sandikala has added instruments designed by Dion Nataraja, including two gambang and two sets of gong kemodhong, crafted in Klaten by Karnadi Handoko and Siswo Pradangga.
Sandikala Ensemble berbasis di Yogyakarta dan berfokus pada eksplorasi teknik eksperimental serta perancangan instrumen gamelan baru untuk memperluas cakrawala musik gamelan kontemporer. Didirikan pada tahun 2020 oleh Dion Nataraja dan Yustiawan Paradigma Umar, ensemble ini beranggotakan para musisi Roni Driyastoto, Mustika Garis Sejati, Suseno Setyo Wibowo, Muhamad Erdifadillah, dan Muhammad Khoirur Roziqin. Ensemble ini telah mengembangkan instrumen-instrumen baru, termasuk empat buah gendèr dengan sistem laras 36 nada non-oktaf. Baru-baru ini, Sandikala menambahkan instrumen rancangan Dion Nataraja, termasuk dua gambang dan dua set gong kemodhong, yang dibuat di Klaten oleh Karnadi Handoko dan Siswo Pradangga.
About the Composer
Dion Nataraja is a composer, experimental vocalist, and scholar from Indonesia, currently pursuing a PhD in music composition at UC Berkeley. His musical and scholarly works have been focusing on the intersection of areas such as Javanese gamelan, spectral techniques, instrument building, multimedia composition, and anticolonial theories.
The composer-pianist Anthony Cheung described Dion’s music as “a true intercultural music for our time.” By the gamelan composer-performer Wahyu Thoyyib Pambayun, his music has been described as “succeeded in expanding the musical language of the Javanese gendèr.” He has attended masterclasses and studied with musicians of various genres, such as Toshio Hosokawa, Chinary Ung, Ken Ueno, Edmund Campion, Carmine-Emanuele Cella, Nick Brooke, Allen Shawn, Steve Lehman, Darsono Hadiraharjo, and Midiyanto. In 2020, he was awarded as a finalist of Talea Ensemble’s emerging composer competition, and in 2022, he was awarded as a OneBeat fellow.
His music has been included as a part of Brown University’s “Asian Musical Modernisms” course syllabus, as well as in concerts such as PGVIS Symposium (Traditions in Transition), Jogja Noise Bombing, Salihara Jazz Buzz, MATA Festival, Soundbridge Festival, and many more. As a scholar, he has published his writing in Jurnal Kajian Seni of Gadjah Mada University, and he has given lectures in venues such as California Institute of the Arts, Salihara Arts Center, Perpromi, October Meeting, among others. At the moment, he is focusing his work on Sandikala Ensemble, a Yogyakarta-based ensemble that develops experimental techniques and new gamelan instruments with the aim of expanding contemporary gamelan music’s horizon.
Dion Nataraja adalah komponis, vokalis eksperimental, dan peneliti asal Indonesia yang saat ini tengah menempuh studi doktoral dalam bidang komposisi musik di UC Berkeley. Karya-karya musik dan akademisnya berfokus pada persilangan antara gamelan Jawa, teknik spektral, pembangunan instrumen, komposisi multimedia, dan teori antikolonial.
Komponis-pianis Anthony Cheung pernah menggambarkan musik Dion sebagai “musik lintas budaya sejati untuk zaman kita.” Sementara komponis-pemanggung gamelan Wahyu Thoyyib Pambayun menyatakan bahwa musik Dion “berhasil memperluas bahasa musikal dari gendèr Jawa.”
Dion pernah mengikuti masterclass dan belajar dengan para musisi dari berbagai genre, seperti Toshio Hosokawa, Chinary Ung, Ken Ueno, Edmund Campion, Carmine-Emanuele Cella, Nick Brooke, Allen Shawn, Steve Lehman, Darsono Hadiraharjo, dan Midiyanto. Pada tahun 2020, ia menjadi finalis kompetisi komponis muda Talea Ensemble, dan pada tahun 2022 ia terpilih sebagai fellow OneBeat.
Karya musiknya telah menjadi bagian dari silabus mata kuliah “Asian Musical Modernisms” di Brown University, serta dipentaskan dalam berbagai acara seperti PGVIS Symposium (Traditions in Transition), Jogja Noise Bombing, Salihara Jazz Buzz, MATA Festival, Soundbridge Festival, dan banyak lagi. Sebagai peneliti, tulisannya telah diterbitkan dalam Jurnal Kajian Seni Universitas Gadjah Mada, dan ia pernah memberikan kuliah di berbagai institusi seperti California Institute of the Arts, Salihara Arts Center, Perpromi, October Meeting, dan lainnya.
Saat ini, Dion memfokuskan perhatiannya pada Sandikala Ensemble, sebuah kelompok musik berbasis di Yogyakarta yang mengembangkan teknik eksperimental dan instrumen gamelan baru guna memperluas cakrawala musik gamelan kontemporer.
Credits
Instruments: gender barung, gender penerus, gambang, rebab, gong kemodhong, gong ageng, percussion, electronics
Composed and electronics by:
Dion Nataraja
Produced by:
Dion Nataraja & Yustiawan Paradigma Umar
Performed by:
Yustiawan Paradigma Umar, gender barung
Roni Driyastoto, gambang, gender penerus, rebab
Suseno Setyo Wibowo, kemodhong, gambang, gender barung
Mustika Garis Sejati, rebab, kemodhong, gender penerus
Muhammad Erdifadillah, percussion, kemodhong
Mixed and mastered by:
Luke Taylor
Recorded by: Muhammad Khoirur Roziqin
Production crew: Muhammad Eko Sudarmanto
Illustration:
“Kerkhof in het park van Buitenzorg” by Raden Saleh
Edited by Wok The Rock
Sandikala Ensemble Logo and Cover layout by:
Wok The Rock
Recorded in:
Sleman, D. I. Yogyakarta, 2025